Beranda | Artikel
Akal-Akalan Melegalkan Riba
Jumat, 1 April 2016

Melegalkan Riba?

Selalu saja ada akal-akalan untuk melegalkan yang haram. Dengan mengaburkan istilah. Atau dengan trik dan manipulasi, yang hasilnya tetap saja haram. Di antaranya kita temukan dalam transaksi riba seperti transaksi ‘inah dan jual-beli kredit.

Oleh Ustad Muhammad Abduh Tuasikal

Secara etimologi, riba berarti tambahan (al-fadhl wa az-ziyadah). Di antara definisi riba yang bisa mewakili dikemukakan Muhammad As- Syarbiniy. Beliau mendefinisakan riba sebagai: “Suatu akad transaksi pada barang tertentu yang ketika akad berlangsung tidak diketahui kesamaannya menurut ukuran syariat, atau adanya penundaan penyerahan kedua barang atau salah satunya” (Mughnil Muhtaj, 6: 309).

Semua Muslim sepakat riba itu diharamkan berdasarkan dalil Al-Quran, Sunnah dan ijma (kesepakatan) para ulama (lihat Al Mughni, 7: 492). Di antara dalil Al-Quran yang mengharamkan riba adalah firman Allah Ta’ala, yang artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275).

Kemudian terdapat berbagai hadis yang menunjukkan ancaman dosa bagi pemakan riba. Di antaranya hadis dari Abu Hurairah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jauhilah tujuh dosa besar yang akan menjerumuskan pelakunya dalam neraka.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa saja dosa-dosa tersebut?” Beliau mengatakan, “(1) Menyekutukan Allah, (2) Sihir, (3) Membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan, (4) Memakan harta anak yatim, (5) Memakan riba, (6) Melarikan diri dari medan peperangan, (7) Menuduh wanita yang menjaga kehormatannya (bahwa ia dituduh berzina)” (HR. Bukhari No. 2766 dan Muslim No. 89).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melaknat para rentenir (pemakan riba) yang mencari pinjaman dari riba. Setiap orang yang ikut menolong dalam muamalah ribawi juga ikut terlaknat. Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama (dalam melakukan yang haram)” (HR. Muslim No. 1598).

Jual-Beli ‘Inah, Trik Transaksi Riba

Di antara trik transaksi riba yang sudah diwanti-wanti sejak masa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah transaksi yang disebut jual-beli ‘inah. Ada beberapa definisi mengenai hal ini yang disampaikan para ulama. Definisi yang paling masyhur adalah seseorang menjual barang secara tidak tunai kepada pembeli, kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tersebut secara tunai dengan harga lebih murah. Tujuan transaksi ini untuk mengakali supaya mendapat keuntungan dalam transaksi utang-piutang.

Sebagai ilustrasi, si A memiliki mobil yang harga normalnya Rp 100 juta. Datang si B yang ingin meminjam uang Rp 90 juta. Si A berharap uang yang dipinjamkan ke B ada bunganya. Tapi mereka paham tambahan bunga itu haram.  Akhirnya keduanya melakukan trik dengan media mobil tersebut. Si A menjual mobilnya kepada si B Rp 110 juta secara kredit, dengan jangka pelunasan dua tahun. Si B kemudian menjualnya kembali kepada si A Rp 90 juta tunai. Maka A menyerahkan Rp 90 juta kepada B, dan mobil kembali menjadi miliknya. Si B wajib menyicil Rp 110 juta selama dua tahun.

Dari ilustrasi di atas, hakikatnya bukanlah jual-beli mobil, tetapi pinjam uang dengan syarat mengembalikan lebih. Mobil yang jadi objek transaksi sejatinya hanya kamuflase untuk menutupi transaksi riba. Transaksi ini disebut ‘inah. Model transaksi ini termasuk di antara trik menyembunyikan riba karena hakikatnya utang dan kaidahnya: “setiap piutang yang mendatangkan keuntungan itu adalah riba.

Mengenai hukum jual-beli ‘inah, para ulama berbeda pendapat, karena perbedaan sudut pandang menilai jual-beli tersebut. Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad tidak membolehkan jual-beli tersebut. Sedangkan, sebagaimana dinukil dari Imam Asy Syafi’i Rahimahullah, beliau membolehkannya karena beliau hanya melihat dari akad secara lahiriah, sehingga menganggap sudah memenuhi rukunnya dan tidak memperhatikan adanya niat di balik itu. Akan tetapi, yang tepat, jual-beli ‘inah dengan gambaran yang kami sebutkan di atas adalah jual-beli yang diharamkan. Berikut ini antara lain alasannya.

Pertama, dalam rangka menutup rapat celah menuju transaksi riba. Jika jual-beli ini dibolehkan, sama saja mengizinkan kita menukarkan uang Rp 10 juta dicicil dengan Rp 5 juta tunai.

Kedua: Larangan jual-beli ‘inah sesuai dengan yang disebutkan dalam hadis: “Jika kalian berjual-beli dengan cara ‘inah, mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan memberikan kehinaan kepada kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian” (HR. Abu Daud No. 3462; lihat pula ‘Aunul Ma’bud, 9: 242).

Trik Riba dalam Jual-Beli Kredit

Jual-beli secara kredit asalnya boleh selama tidak melakukan hal terlarang. Namun harus memperhatikan beberapa kriteria. Jika tidak, masuk jurang riba.

Pertama, barang yang dikreditkan milik penjual (bank). Kita contohkan kredit mobil. Si pembeli boleh membeli mobil tadi secara kredit dengan harga yang sudah ditentukan tanpa denda jika terlambat membayar. Antara pembeli dan penjual bersepakat kapan membayar; setiap bulan atau lebih. Ada angsuran di muka dan sisanya dibayarkan di belakang.

Kedua, barang tersebut bukan milik penjual (bank), namun milik pihak ketiga. Si pembeli meminta bank membelikan barang tersebut. Si pembeli sepakat membeli barang tersebut dari bank. Sebelum bank menjual kembali kepada nasabahnya, kepemilikan barang sudah berada pada bank, bukan pada pihak ketiga. Sehingga yang menjamin kerusakan dan lainnya adalah bank, bukan pihak ketiga. Saat ini, si pembeli (baca: nasabah) boleh membeli barang tersebut dari bank dengan harga yang disepakati. Namun sekali lagi, jual-beli bentuk ini harus memenuhi dua syarat. Yakni:

  1. Harganya jelas di antara kedua pihak (bank dan nasabah), walau ada tambahan dari harga beli bank dari pihak ketiga.
  2. Tidak ada denda jika terlambat membayar angsuran (faedah dari net).

Jika salah satu dari dua syarat itu tidak bisa dipenuhi, akan terjerumus pada pelanggaran. Pertama, boleh jadi menjual sesuatu yang belum diserah-terimakan secara sempurna. Artinya, belum menjadi milik bank, namun sudah dijual kepada nasabah. Sehingga bank melanggar aturan menjual barang yang bukan miliknya.

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan” (HR. Bukhari No. 2136 dan Muslim No. 1525).

Ibnu ‘Umar berkata, “Kami dahulu di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali” (HR. Muslim No. 1527).

Atau bisa jadi terjerumus dalam riba, karena bentuknya sama dengan mengutangkan uang  untuk dibelikan mobil kepada nasabah, lalu mengeruk keuntungan dari utang. Padahal para ulama telah berijma’ akan haramnya keuntungan bersyarat yang diambil dari utang-piutang.

Semoga dengan mengetahui beberapa trik penyamaran riba membuat kita semakin waspada. Jangan tertipu slogan syari semata. Kita perlu belajar dan terus mendalami berbagai hukum Islam sehingga bisa terhindar dari berbagai trik riba. Semoga Allah memberkahi kita dengan ilmu yang bermanfaat dan menghindarkan kita dari riba serta berbagai macam triknya.

Pull Quote:

  1. Tujuan transaksi i’nah untuk mengakali supaya mendapat keuntungan dalam transaksi utang piutang.
  2. “Jika kalian berjualbeli dengan cara ‘inah, mengikuti ekor sapi, ridha dengan bercocok tanam dan meninggalkan jihad, maka Allah akan memberikan kehinaan kepada kalian.”
  3. “Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.”
  4. Jual- beli secara kredit asalnya boleh selama tidak melakukan hal yang terlarang.”

PengusahaMuslim.com

Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.

  • SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
  • DONASI hubungi: 087 882 888 727
  • REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK

Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/5601-akal-akalan-melegalkan-riba.html